Halaman

Wednesday, September 25, 2019

LOINANG

Ft : pixabay.com Edt: RB



Ba’ato Bastrasia Smanduwon-Reza Fauzi,berasal Sulawesi Tenggara, saat itu kuliah di Universitas Negeri Gorontalo di Jurusan Bahasa Indonesia, hobynya menulis karya sastra dan baca puisi lohh, kalian bisa sharing dengannya melalui facebook reza fauzi. di baca dramanya yah?

LOINANG
Karya  : Reza Fauzi

Drama ini diangkat dari penelitian studi etnografi siswa SMA Negeri 1 Toili yang ingin melihat lebih dekat perjuangan hidup masyarakat pedalaman suku Loinang yang hidup di daerah kecamatan Toili. kabupaten Banggai. Sulawesi tengah. Sebuah kehidupan yang sangat jauh dari hiruk pikuk. Perhatian dan kepedulian pemerintah seakan tidak terlihat disana.        

Langit bermendung. Udara berwarna kelabu. Dari jarak yang tidak begitu jauh terlihat pegunungan Uwemea yang tak Nampak lagi pesona keindahannya seakan telah di curi oleh pekat di pagi yang menjelang siang waktu itu. Kelompok studi etnografi siswa SMA yang sejak pagi telah bersiap  di kaki gunung masih saja ragu untuk dapat  membuka rahasia yang tersembunyi di puncak gunung uwemea. Keragu-raguan yang menutupi semangat siswa-siswi tiba-tiba hilang ketika ketegaran dan jiwa berapi-api dari sosok seorang wanita yang merupakan guru pembimbing penilitan itu membakar endapan kabut yang sudah sejak tadi menyelimuti semangat siswa-siswi.

Ibu Herma          :    Abdul..!! (dengan nada datar)
Abdul                 :    Iya bu, ada apa?
Ibu Herma          :    Tolong dicek kembali semua perlengkapan yang akan kita bawa. Dan jangan lupa persediaan obat-obatan!
Abdul                 :    Iya Bu.. Tapi mohon maaf sebelumnya bu, apakah tidak lebih baik kalau kita berangkatnya besok pagi saja? Cuaca masih dalam keadaan tidak baik bu, akan sangat beresiko buat kita semua. Kita kan masih bisa menginap untuk satu malam lagi di kaki gunung ini bu.
Ibu Herma          :    Benar Dul, hanya saja seprti yang kita ketahui bahwa pola hidup masyarakat Loinang itu nomaden dul. kita sudah dua hari berada di kaki gunung ini sementara surat izin yang diberikan oleh pihak sekolah hanya 5 hari. Ibu khawatir apabila semakin banyak waktu yang terbuang, kemudian nanti kita tidak bertemu dengan objek penelitian kita.
Pak Dim             :    (Yang Sejak tadi menyimak pembicaraan Ibu Herma dan Abdul) Ibu Herma saja  berani,, masa kalian yang umurnya jauh lebih muda semangatnya mau dikalahkan? (membakar semangat murid-murid)
Abdul                 :    Kalau semuanya siap, saya juga pasti siap!!
                                Bagaimana teman-teman?
Ambo                 :    Berarti kalau kita tidak siap kamu juga tidak siap?? Jangan bergantung begitu Dul, kita semua harus punya keberanian diri yang lahir dan tumbuh dari diri. Seperti saya. Hehe.. ayo, tidak usah menunda banyak waktu!!
Fitri                    :    hmm… Sok jadi jagoan kamu mbo!!
Abdul                 :    siapa takut? Ayo!! nantikan kami masyarakat Loinang!! (dengan wajah yang terlukis semangat) Kami semua siap kalaupun harus berangkat hari ini bu. (diikuti pernyataan siap oleh teman-teman yang lainnya)
Ibu Herma          :    (Dengan senyum yang penuh semangat) Yaa sudah, cepat kalian persiapkan semua perlengkapan yang akan kita bawa. Hari sudah siang, jangan sampai kita kemalaman dijalan.
Pak Dim             :    Semangat! Sebentar lagi kalian akan menemukan pengalaman baru yang belum tentu semua orang memiliki kesempatan seperti ini (sambil menyalakan rokok yang sudah sejak tadi dipegangnya)
            Mereka pun bergegas mempersiapkan semua perlengkapan yang akan mereka bawa. Langit masih saja menurunkan hujan. Sesekali terdengar dentuman petir. Namun bukan menjadi suatu penghalang bagi mereka, semangat yang kali ini terbangun melebihi butiran air hujan yang turun di siang itu.
            Setelah menunggu beberapa lama hujan pun perlahan mulai redah, hingga pada akhirnya mereka memulai langkah yang di temani kabut, menuju hutan gunung uwemea.
Mengisi perjalanan dengan canda tawa menjadi pilihan yang terjadi secara alamiah. Namun belum begitu jauh dari tempat keberangkatan, langkah mereka pun tiba-tiba terhenti.

Pak Dim             :    Jangan keenakan bercanda. Apa tidak ada yang kalian lupa? (dengan nada santai namun serius)
Ibu Her               :    Jangan bercanda,, apa pak? (seakan tidak percaya)
Ambo                 :    Apa? Sepertinya sudah cukup berat pak yang ada di pundak saya ini.
Pak Dim             :    Bukan barang yang saya maksud. Tapi apakah kita tidak membutuhkan juru bicara untuk menemani kita disana? Karena sepengetahuan saya mereka belum begitu paham dengan bahasa Indonesia.
Tomy                  :    Emangnya bahasa apa yang mereka gunakan pak?
Pak Dim             :    Dari informasi yang bapak tahu mereka menggunakan bahasa saluan, tapi itupun sudah berbeda dengan saluan yang kita tahu pada umumnya
Ibu Her               :    Sebaiknya ada diantara kita yang bersedia kembali       ke desa untuk mencari salah satu warga yang paham dengan bahasa yang mereka gunakan dan bersedia pula untuk menemani perjalanan kita. Siapa yang mau menemani ibu untuk kembali ke desa?
Pak Dim             :    Jangan ibu yang pergi, biar saya saja. Perjalanan kita masih cukup jauh untuk sampai di tempat tujuan, ada baiknya kalau ibu menyimpan tenaga.

Abdul                 :    kalau begitu biar saya saja yang menemani bapak untuk kembali ke desa. Ibu dan teman-teman menunggu disini saja.

            Akhirnya Pak Dim dan Abdul kembali ke tempat awal mereka, yaitu didesa uwemea yang terletak di kaki gunung. Rahasia dari sebuah kebudayaan masyarakat Loinang yang membuat semangat mereka tetap terbakar. Setelah menempuh jarak yang belum begitu jauh akhirnya mereka sampai desa.

Abdul                 :    siapa yang harus kita minta bantuannya disini pak?
Pak Dim             :    Kita kerumah pak kepala Desa saja dulu dul, kita minta informasi dari dia. Siapa tahu dia bisa mengutus masyarakatnya untuk mendampingi penilitian kita.
Abdul                 :    Okelah kalau begitu! Hehe (sedikit bercanda)
Pak Dim             :    hehe. . Abdul Abdul!!
Abdul                 :    (kaget) ekh, pak! Bukannya ini rumah pak Kades?
Pak Dim             :    Oia Dul, hampir saja lewat. Ayo kita masuk.
Pak Dim             :    Assalamualaikum!
                                Salammualaikum!
Pak Kades          :    Wa’alaikumussalam! Silahkan masuk.
Pak Dim             :    Makasih pak..
Pak Kades          :    Iya,, ngomong-ngomong ada perlu apa pak?

Pak Dim             :    Maaf mengganggu. Begini Pak, kami dari kelompok studi etnografi SMA Toili yang ingin melakukan penelitian mengenai suku pedalaman yang ada di daerah ini. Kebetulan kami mendengar informasi mengenai masyarakat Loinang. Dan kami membutuhkan juru bicara untuk kelencarannya penelitian kami, sekiranya kami memohon bantuan bapak.
Pak Kades          :    hmm..  iya pak, coba bapak hubungi pak Lego, rumahnya tidak jauh dari sini berjarak lima rumah dari rumah saya.
Pak Dim             :    Terima kasih atas bantuannya pak, kalau begitu kami berdua permisi, kami mau langsung ke rumah pak Lego saja. Maaf terburu-buru soalnya teman-teman yang lain sudah menunggu kami di perjalanan. Permisi pak.
Pak Kades          :    iya, sama-sama. Hati-hati dijalan, semoga lancar perjalanannya!

            Perjalananpun mereka lanjutkan kerumah pak Lego. Sesampainya dirumah pak Lego merekapun langsung bertemu dengan pak Lego dan tanpa basa-basi mengutarakan maksud dan tujuan mereka menemui pak Lego. Pak lego tidak merasa keberatan untuk menemani kelompok mereka. Dan pada akhirnya bersama pak Lego mereka pergi menyusul teman-teman mereka yang sudah cukup lama menunggu kedatangan mereka.
            Setibanya di tempat teman-teman mereka menunggu, Pak Dim langsung memperkenal-kan pak Lego kepada seluruh anggota kelompok mereka.

Pak Dim             :    Ini adalah Pak Lego, beliau yang akan menemani perjalanan kita dan beliau yang nantinya akan menjadi juru bicara kita.
Ibu Herma          :    Terima kasih sebelumnya Pak Lego sudah mau bersedia untuk meluangkan waktunya menemani perjalanan kami. Tentunya ini akan lebih memper-mudah penelitian kami. Sekali lagi terima kasih pak.
Pak Lego            :    Iya, sama-sama bu. Buat saya adalah satu kebanggan ketika saya bisa untuk menemani siswa-siswa dalam proses pendidikan mereka, dan semoga saja teman-teman semua mampu untuk membawa perubahan yang lebih baik kedepannya untuk masyarakat, dan khususnya masyarakat loinang yang kali ini menjadi objek penelitian teman-teman.
Ibu Herma          :    Amin! (diikuti oleh semua siswa)
Pak Lego            :    Ayo kita lanjutkan saja perjalanannya. Hari sudah semakin siang. (sambil berjalan melanjutkan perjalanan)
Ibu Herma          :    Ayo, tetap semangat adik-adik!
Siswa                  :    Maju tak gentar bu!! Haha ( tertawa beramai-ramai, sambil melanjutkan perjalanan mereka)
Fitri                    :    Ibu,, kita akan sampai jam berapa di tempat tujuan? Sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan? Padahal kita berjalan sudah cukup jauh bu. . (mengeluh)
Isna                    :    Iya bu. . Cape bu. Sebenarnya dimana tempat masyarakat loinang tinggal? Ini dah sore bu, tapi sama sekali tidak ada yang menandakan kalau hutan ini berpenghuni.
Fitri                    :    Yang ada mungkin juga kera yang jadi penghuni hutan ini!
Ibu Herma          :    Huss!! Isna. . Fitri. . tidak boleh bicara seperti itu! Ibu kan sudah katakan sebelumnya sama kalian kalau masyarakat loinang itu memiliki pola hidup nomaden, artinya kalau mereka selalu berpindah-pindah tempat tinggal. Jadi kita harus bisa sabar.
Isna                    :    Kalau ternyata mereka sudah tidak ada di hutan ini lagi bagaimana bu?
Ibu Herma          :    Ibu yakin pasti mereka masih ada disini, karena sebelumnya Ibu dengan Pak Dim sudah mencari informasi tentang mereka. Dan begitupun menurut masyarakat uwemea. Iya kan pak? (sambil bertanya pada Pak Lego yang tepat berada di depan mereka)
Pak Lego            :    Iya, masyarakat uwemea yang sering naik kehutan ini masih sering bertemu dengan mereka. Dan terkadang mereka juga masih sering turun ke desa Uwemea untuk menukarkan hasil kebun mereka dengan kebutuhan lainnya yang mereka butuhkan.
Ibu Herma          :    pokoknya kalian harus tetap semangat! Kalian generasi yang nantinya akan menentukan masa depan seluruh lapisan masyarakat di negeri ini, tanpa terkecuali!
Pak Dim             :    woyy!! Ayo, tetap semangat! Lihat sana! Itu sepertinya tempat tinggal mereka! (berteriak kearah yang lainnya yang berada di belakang)

            Dengan semangat yang berapi-api mereka pun mempercepat langkah menuju arah telunjuk Pak Dim. Namun setelah dekat dengan tempat yang dimaksud, tidak Nampak seorang pun yang ada disana. Bahkan rumah panggung yang kecil dan terbuat dari kayu serta nipa itu pun Nampak sudah lama tidak berpenghuni.

Abdul                 :    Kosong? (heran)
Tomy                  :    Iya, sepertinya mereka sudah pindah. Dan ini merupakan rumah bekas peninggalan mereka.
Pak Lego            :    Benar de,ini tempat tinggal mereka hanya saja, sepertinya mereka belum terlalu lama meninggalkan tempat ini, dan mereka masih tetap ada di hutan ini kalau menurut saya.
Pak Dim             :    Kalau begitu kita teruskan lagi perjalanan ini! (rasa penasaran)
Ambo                 :    Jangan menyerah. . oh. . jangan menyerah. . (menyanyi. Berusaha menghibur teman-teman yang sudah kelelahan)
Abdul                 :    Lanjutkan!! Hehe
Ibu Herma          :    Nah, harus begitu. . tetap pertahankan semangat kalian!

            Meskipun sedikit kecewa, namun mereka tidak putus asa dan tetap melanjutkan perjalanannya karena, rasa penasaran dan semangat yang lebih besar daripada kekecawaan yang ada.
            Raja siang pun Nampaknya sudah berangsur-angsur kembali ke peraduannya. di tengah kejenuh-an karena hari sudah mulai gelap sementara tanda-tanda pun tidak sama sekali terlihat, tiba-tiba terdengar semacam teriakan-teriakan yang begitu samar di telinga mereka. Sehingga mereka lebih mempercepat langkah mereka menuju kearah suara itu yang mereka yakini bahwa suara itu adalah suara manusia. Pada akhirnya tepat didepan mereka sesosok wajah yang dari perawakannya begitu asing, hanya sejenis koteka yang terbuat dari potongan kain yang menempel pada tubuhnya. Tanpa kata dan hanya memberikan isyarat, manusia asing itupun mengajak mereka untuk ikut bersama dia.

Pak Lego            :    Karena hari telah gelap, Sepertinya dia menginginkan kita untuk menginap dirumah mereka.
Ibu Herma          :    Kita ikuti saja pak, bukankah itu adalah salah satu maksud baik tarhadap kami? (tanpa ragu)
Pak Dim             :    Saya rasa seperti itu. Bagaimana teman-teman? (sedikit berbisik pada siswa-siswa)
Abdul                 :    Iya pak, saya setuju (sambil mengangguk-anggukan kepalanya, yang diikuti oleh teman-teman lainnya)

            Tidak begitu jauh mereka berjalan, mereka pun tiba di tempat yang di maksud oleh orang yang masih mereka anggap asing. Seperti terhipnotis mereka pun di persilahkan untuk masuk kedalam sebuah rumah yang berbentuk pondok. Tampak 2 buah obor berukuran sedang menempel pada dinding kayu rumah itu. Ada 2 orang perempuan dan 3 orang laki-laki sudah termasuk juga laki-laki yang mengajak mereka ke rumah itu. Laki-laki yang pertama terlihat sudah cukup tua. Tanpa suara yang keluar dari mulut satu persatu, mereka semua saling berjabat tangan. Dan dengan model sila mereka duduk saling berhadapan antara dua kelompok yang berbeda dan belum saling mengenal, hingga pada akhirnya
Ambo                 :    (seakan baru tersadarkan) Loinang!! Mereka adalah masyarakat loinang bu! (dengan gaya keceplosan yang memecahkan suasana hening)
Ibu Herma          :    ssstt. . ! jangan ribut Ambo! Mereka bisa marah pada kita apabila mereka merasa terganggu. (sedikit berbisik pada Ambo)
 Ambo                :    maaf. . Keceplosan bu! (berbisik)
Ibu Herma          :    Pak Lego! Mungkin bapak bisa memperkenalkan kami kepada mereka.
Pak Lego            :    Oia Bu,, Maaf. . apa yang harus saya katakan kepada mereka?
Ibu Herma          :    Bilang saja kalau kami datang dari Toili, kemudian tanyakan nama mereka.
Pak Lego            :    Kami Lengkati Toili. Ihe na sanggonyo?? (artinya: Kami datang dari toili. Kalau boleh tahu siapa nama-nama kalian? Bertanya kearah Tumali)
Tumali                :    Aku Tumali. Aya Babinsa, aya helikopter (memperkenalkan juga dua orang laki-laki disampingnya) aya Sulawesi, aya komputer (dan dua orang perempuan dibelakangnya)
Pak Lego            :    Saya Tumali. Dia Babinsa, dia helikopter, dia Sulawesi dan dia komputer (menerjemahkan bahasa Tumali dan sambil menunjuk kearah masing-masing orang yang diperkenalkan)
Ibu Herma          :    Maaf sebelumnya, kalau kami mengganggu. Ada berapa kepala keluarga yang tinggal disini? (bertanya kearah Pak Lego)
Pak Lego            :    Mo maafi kami, barapanyo ubak kaluarga diyo?
Tumali                :    Sambatu!
Pak Lego            :    Satu!
Abdul                 :    Hanya satu? Yang lainnya kemana?(menyerobot mengeluakan pertanyaan yang diarahkan pada pak lego, berharap diterjemahkan)
Pak Lego            :    Sambatu? Moyamo taman-taman?
Tumali                :    Manjo’on!
Pak Lego            :    Jauh!
maksud dia teman-teman mereka masih jauh lagi dari tempat ini (menjelas-kan pada Abdul.
Pak Dim             :    Apa tidak lebih baik kita bertanya-tanya besok pagi saja bu? Ini kan sudah malam, mungkin saja mereka ingin beristirahat.
Ibu Herma          :    Kalau mereka masih bersedia untuk di Tanya, saya rasa tidak ada salahnya juga pak.
                                Pak Lego, bisa tolong tanyakan pada mereka apakah sudah ingin beristirahat atau belum?
Pak Lego            :    Mba mo hoyot komiu?
Tumali                :    Mba. .!
Pak Lego            :    belum bu, mereka belum ingin beristirahat.
                                Saya rasa ada baiknya kalau kita banyak bertanya mala mini saja, karena besok pagi mereka pasti pergi berburu dan belum tentu masih bisa ketemu kita lagi.
Pak Dim             :    Baiklah, kalau begitu siapa diantara kalian yang ingi bertanya di persilahkan (kearah siswa-siswa)
Ambo                 :    Saya Pak!
Pak Dim             :    Silahkan, langsung saja. Nanti akan di translate oleh Pak Lego
Ambo                 :    Apa yang menyebabkan mereka bisa tinggal di tempat ini? kenapa tidak tinggal didesa saja? Di desa kan rame dan enak?
Pak Lego            :    Apanombau komiyu jojong i’aya? Kada, mba jojong’i desa? Jojong’I desa rame baru enak.
Tumali                :    Kami jojong’I aiya, misa hambak I butong lantaran na’utu dagik ko perang antara ohua suku, antara nene’ moyangi kami sahingganyo molibat belie kaluargai kami. Desa manjoon mombakalae!
Pak Lego            :    Kami tinggal di tempat ini, pada awalnya bukan keinginan kami. Tetapi karena nenek moyang kami lari ke hutan pada saat terjadi perang antar suku pada waktu itu. Sehingga sampai pada keturunan kami saat ini. Desa banyak perkelahian!
Ambo                 :    Ooo… (sambil angguk-angguk)
Abdul                 :    Kalau ada yang meninggal bagaimana proses pemakamannya? (mengarah pada pak Lego)
Pak Lego            :    Musia kalu dagik ko mian anu mate?
Tumali                :    Dagi ko mian mate mbak o kubur. Kami taro i pohon anu daka, sampe jasad mian anu mate aijo monjadi tulang, baru kami mompoanyor i uwe.
Pak Lego            :    Kalau ada yang mati tdak kami kubur. Kami taruh di pohon yang besar sampai jasadnya menjadi tulang belulang, kemudian kami hanyutkan di sungai.
Abdul                 :    waoww…! (terkejut)
Fitri                    :    apa yang jadikan buruan mereka untuk makan?
Pak Lego            :    Apa na owau komiyu, kalu moliu binatang anu buru?
Tumali                :    bau!
Pak Lego            :    Babi!
Ibu Herma          :    Sepertinya sudah cukup larut, ada baiknya kalau kita bersiap untuk mendirikan tenda diluar untuk tempat kita tidur.
Pak Dim             :    Iya!
Ibu Herma          :    o ia pak Lego, tolong berikan sembako ini pada mereka
Pak Lego            :    ia bu

            Setelah Puas berbincang-bincang akhirnya mereka pun bergegas untuk mendirikan tenda, dan malam itupun menjadi pengalaman yang tak terlupakan karena begitu banyak sisi dari kehidupan ini yang belum mereka ketahui. Begitu banyak rahasia yang masih tersimpan sebagai rahasia alam. Hidup layak dalam sebuah Negara adalah kepedulian semua pihak dan tanggung jawab semua individu untuk peduli sesama. Semua berhak untuk mendapatkan hidup yang lebih layak!

Miss You Loinang 

   
           

           
   
           


No comments:

Post a Comment